SANGATTA, KASAKKUSUK.com – Ketua DPRD Kutai Timur, Jimmi mengaku memenuhi panggilan penyidik Polda Kaltim untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mesin Rice Processing Unit (RPU) senilai Rp24,9 miliar di Kecamatan Sangatta Selatan.
Dia diperiksa mewakili anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kutai Timur periode 2019-2024 dan 2024-2029.
“Diwakili saja, karena hanya sebagai saksi dan memang yang dipanggil itu pimpinan saja. Termasuk saya sendiri,” kata Jimmi kepada wartawan pada Kamis, 4 September 2025.
Dia menjelaskan pengadaan mesin RPU dialokasikan melalui APBD Perubahan 2024. Awalnya RPU tersebut diusulkan di Kecamatan Kaubun.
“Kaubun itu memiliki potensi pertanian. Cuma saya juga dapat informasi dari pihak penyidik kalau di sana tidak ada potensi untuk menyambung listrik sebesar itu karena kebutuhannya 190 kilo watt. Itu setara dengan 100 rumah tuh. Harus ada trafo. Itu yang tidak tersedia di sana,” ucap Jimmi.
Hanya saja, dia mengaku tak mengetahui persis alasan Dinas Ketahanan Pangan Kutai Timur memindahkan lokasi pembangunan RPU di Sangatta Selatan.
“Kita enggak tahu keputusannya dinas untuk memindahkan di Sangatta Selatan. Itu yang belum kami dapatkan informasi itu. Kenapa harus begitu?” beber politikus PKS ini.
Dia menilai keberadaan RPU di Sangatta Selatan sangat bagus. Karena petani tidak lagi menjemur padinya ketika diolah di RPU.
Mengenai materi pemeriksaan penyidik Polda Kaltim, kata dia, sejauh mana sepengetahuannya dalam pengadaan RPU tersebut.
“Kalau kami sampaikan secara detail itu memang harus melewati rapat-rapat komisi dulu. Tapi biasanya di komisi secara umum saja. Bahwa pemerintah berupaya untuk meningkatkan sejalan dengan (program pemerintah) pusat untuk meningkatkan ketahanan pangan,” beber Jimmi.
Alternatif untuk berpartisipasi di (program) ketahanan pangan itu, lanjut dia, salah satunya mengadakan mesin itu.
“Tapi kalau di Banggar sendiri tidak ada pembahasan secara detail. Karena di Banggar itu hanya kebijakan terkait dengan berapa persen mandatory spending. Untuk anggaran pendidikan cukup enggak 20 persen itu?” tuturnya.
“Untuk pertanian berapa persen, untuk kesehatan berapa persen, hibah berapa persen? Banggar biasanya seperti itu. Tidak ada sampai mendetail. Jadi itu yang menjadi pertanyaan kita. Kenapa si harus dipanggil kita sebagai saksi,” sambungnya.
Mengenai ada atau tidaknya koordinasi antara Dinas Ketahanan Pangan dengan PLN terkait kemampuan pasokan listrik di lokasi sebelum pengadaan RPU, menurut Jimmi, kalau hal itu pihak dinas yang tahu.
“Dinas yang tahu. Karena kita secara teknis tidak mungkin. Tidak pernah dibahas itu secara resmi (di DPRD). Pemerintah punya inisiatif untuk membangun itu. Kalau kami enggak pernah membahas secara detail,” ungkap Jimmi.
Dia menilai ada kesalahan dalam penempatan RPU di Sangatta Selatan. Sebab lokasi itu di wilayah Pertamina dekat sumur minyak.
“Itu yang menjadi persoalan. Kalau tidak ada masalah dengan Pertamina mungkin (RPU) jalan aja sih,” paparnya.
Klarifikasi TAPD
Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kutai Timur diketuai Sekretaris Daerah Rizali Hadi telah diperiksa tim penyidik Polda Kaltim beberapa waktu lalu.
TAPD beranggotakan sejumlah instansi terkait diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan mesin RPU senilai Rp24,9 miliar di Sangatta Selatan.
Demikian diungkap Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kutai Timur, Ade Achmad Yulkafilah saat menggelar konferensi pers di ruang kerjanya pada Selasa 2 September 2025.
Dia menjelaskan alasannya menggelar jumpa pers lantaran ingin mengklarifikasi pemberitaan terkait pemeriksaan sejumlah pejabat Pemkab Kutai Timur di Polda Kaltim agar tidak simpang siur.
Meski begitu, dia bingung karena dalam kasus ini, hanya fotonya dan Sekda Rizali Hadi saja ditampilkan dalam pemberitaan media. Padahal, kata dia, pemanggilan oleh penyidik Polda Kaltim juga melibatkan sejumlah pihak terkait lainnya.
“Kenapa ya, hanya Pak Sekda dan saya saja yang diberitakan di media,” tutur Ade saat konferensi pers dihadiri Sekda, Rizali Hadi; Kabag Hukum Setkab Kutai Timur, Januar Bayu; Kepala Bapenda, Syafur; serta Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setkab Kutai Timur, Noviari Noor yang juga sebagai Plt. kepala Bappeda.
“Ada apa ini, itu pertanyaan saya. Tapi kami tidak masalah. Intinya begini. Secara TAPD semua dipanggil kok. Saya, Sekda, Bappeda, Bapenda, Bagian Hukum dipanggil semua. Tapi kenapa hanya kami berdua. Apalagi di berita hari ini saya baca seolah-olah saya sama Sekda yang bermasalah,” keluh Ade.
Dia bilang tidak mengetahui detail teknis pembangunan RPU tersebut. “Coba tanya ke pihak pelaksana kenapa ini bermasalah. Kami di TAPD tak pernah tahu RPU itu apa? Mau dibangun di mana? Mau bangun apa? Kami tidak pernah tahu. Yang kami tahu, kegiatannya kemandirian pangan. Nah mereka (pelaksana) mempunyai program kerja A, B, dan C. Jadi yang tahu SKPD, karena yang melaksanakan mereka,” beber Ade.
Dia mengaku kaget dengan pemberitaan media yang dinilainya menggiring opini. Seolah dia bersama Sekda sebagai pelaksana.
“Padahal tidak begitu. Kami dipanggil sebagai saksi ya harus datang. Nanti kalau tidak datang, ‘kan salah,” ujarnya.
Kapala Bagian Hukum Setkab Kutai Timur, Januar Bayu menambahkan pemerintah daerah sangat menghormati proses hukum dilakukan Polda Kaltim.
“Ketika dipanggil harus hadir. Jika tidak hadir sampai tiga kali pasti Polda akan melakukan secara paksa. Kita ini sebagai pemerintah harus mendukung proses penyidikan. Biasanya kalau kami di Bagian Hukum itu ketika ada panggilan dari kejaksaan atau kepolisian pasti kami ditugaskan untuk melanjutkan pemanggilan,” jelas Januar.
Dia juga mengklarifikasi bukan hanya TAPD yang diperiksa, tapi juga Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kutai Timur hingga sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD). “Karena dalam rangka apa, dalam hal penyidikan. Ya itu sah-sah saja, kita berterima kasih karena sudah diberikan klarifikasi terkait hal itu,” imbuhnya.
Dikemukakan pula kasus RPU senilai Rp24,9 miliar itu indikasinya ada pada kontrak. “Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan kontrak. Jadi kalaupun berkaitan dengan penyidikan itu wajar kalau dipanggil. Tapi mohon dalam hal ini posisi kami mengklarifikasi, tolong jangan seolah-olah. Justru kami dipanggil itu untuk mempermudah proses hukum. Jadi kami mengklarifikasi ya karena kami punya hak jawab. Saya pikir itu,” timpalnya.
Dugaan Markup Anggaran
Kasus ini mencuat dengan dugaan adanya permainan dan markup anggaran hingga kini resmi memasuki tahap penyidikan.
Proyek RPU berkaitan dengan program penyediaan infrastruktur pendukung kemandirian pangan dengan total anggaran senilai Rp40,1 miliar.
Proses penyidikan ini tertuang dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor SP sidik/S 1.1/151/VI/RES.3.3./2025/Ditreskrimsus/Polda Kaltim tertanggal 23 Juni 2025.
Surat itu menyebut kegiatan penyediaan infrastruktur dan pendukung kemandirian pangan sesuai kewenangan daerah kabupaten/kota.
Dikutip portalkaltim.com, sumber penyidik menjelaskan adanya kejanggalan berupa perbedaan nilai anggaran antara
Rencana Kerja Pembangunan Daerah Perubahan (RKPD-P) dan Kebijakan Umum Perubahan Anggaran-Perubahan (KUPA-P).
Awalnya tercatat Rp31,2 miliar, namun di KUPA-P meningkat signifikan menjadi Rp41,1 miliar.
“Itulah yang kami curigai anggaran tiba-tiba naik,” ujar sumber dihubungi Rabu, 20 Agustus 2025.
Menurut sumber itu, dugaan permainan anggaran ini sudah diatur sejak awal oleh pihak tertentu.
TAPD diketuai Sekda Rizali Hadi, dan Kepala BPKAD Kutai Timur, Ade Achmad Yulkafilah disebut sebagai pihak yang mengetahui mengapa anggaran tersebut naik signifikan sehingga patut dimintai keterangan.
“Mainstream-nya ada di TAPD. Dalam hal ini, yang paling tahu kenapa anggaran dari RKPD dan KUPA-P tidak selaras. Ada apa?” tutur sumber itu.
Penyidik Polda Kaltim pun telah memeriksa sejumlah pihak terkait, termasuk kepala Dinas Ketahanan Pangan, TAPD, serta unsur anggota dewan. (ute)